Home | Sejarah | Pimpinan | Inti Ajaran | Artikel | Arsip | Kontak Kami
Opini Aktual

Senin, 30 Januari 2017

Ibadah Itu Lahir dan Batin

Pada zaman sekarang ini, manusia memiliki kecenderungan yang sangat kuat terhadap materi dan aspek lahiriah. Segala sesuatunya selalu dinilai dari aspek lahiriahnya saja, seperti misalnya bentuk ketundukan dan kepasrahan seorang muslim, banyak yang kemudian menilai tingkat keislaman seseorang dari aspek lahiriahnya saja. Seperti misalnya penampilan fisiknya, apakah dia berjenggot, apakah dia kerap memakai pakaian takwa atau baju gamis, apakah dia kerap mempergunakan istilah arab, apakah dia sering mengaji dan senantiasa sholat berjamaah. Segala sesuatu yang berhubungan dengan aspek fisik seseorang akan menentukan penilaian orang lain terhadap tingkat keislaman seseorang tadi.

Padahal pada hakekatnya, seseorang dengan penampilan fisik seperti seorang alim ulama atau seperti seorang kyai belum tentu menunjukan tingkat kepatuhan dan ketakwaan orang tersebut terhadap perintah Allah swt. Bisa jadi penampilan fisik tersebut justru menipu, isi dan tabiat seseorang ternyata tidak sebaik penampilannya.

Begitulah keadaan dimana kita hidup saat ini, hampir segalanya senantiasa dinilai dan diperhatikan berdasarkan aspek lahiriahnya, aspek zahir atau aspek materi. Oleh sebab itu tidak salah jika kita menjuluki zaman ini sebagai zaman materialisme, karena segala sesuatunya selalu dinilai dari aspek lahiriahnya semata.

Demikian juga halnya dengan beribadah kepada Allah swt, umat saat ini lebih terfokus pada aspek lahiriahnya semata. Sebagai contoh misalnya adalah dalam hal melaksanakan rukun Islam yang pertama, kita menyebutnya sebagai ‘mengucapkan dua kalimat Syahadat’. Kita tidak peduli apakah ikrar dua kalimat Syahadat yang diucapkan itu dibenarkan oleh hati nuraninya atau tidak. Bahkan kita tidak peduli bahwa ikrar tersebut meresap dalam hati atau tidak, diikrarkan secara jujur dan sungguh-sungguh atau tidak, kita tidak peduli. Asalkan secara fisik seseorang telah mengucapkan dua kalimat Syahadat, maka kita menyatakan yang bersangkutan sudah Islam.

Dengan demikian kita tidak bisa membedakan antara Teuku Umar, pahlawan Aceh, dengan Haji Abdul Ghafar (Snouck Hurgronje). Keduanya sama-sama mengucapkan dua kalimat Syahadat.

Dalam hal ibadah demikian juga halnya, kebanyakan orang hanya terfokus dan mengatur aspek lahiriahnya saja. Tidak mencakup aspek batin. Pada saat sholat, maka kita terfokus pada: apakah kita sholat tepat pada waktunya, apakah kita berjamaah di masjid, apakah barisan shaf kita sudah rapat dan lurus, apakah yang harus kita baca pada saat takbir, surat apa yang akan kita baca setelah membaca surat al-Fatihah, bagaimana sikap kita pada saat ruku’, sujud dan duduk, dst.

Kita tidak pernah memperdulikan apakah sholat kita itu khusyu atau tidak, apa yang harus dikatakan oleh batin kita pada saat kita mengangkat tangan seraya mengucapkan takbir pertama kali, apa yang harus disampaikan oleh batin kita pada saat kita mengucapkan dua kalimat Syahadat. Apakah batin kita dalam keadaan benar-benar mencintai Rasulullah saw atau tidak pada saat kita membaca shalawat. Kita tidak memperdulikan itu semua bukan? Bahkan kita tidak pernah mempertanyakan apakah ibadah sholat yang kita lakukan itu berkenan bagi Allah swt atau tidak. Karena selama ini perhatian kita hanya terfokus pada aspek lahiriah dari ibadah sholat saja.

Pada saat melakanakan ibadah puasa, fokus perhatian kebanyakan dari kita hanyalah pada jam berapa kita harus bangun untuk makan shahur, jam berapa imsak tanda berhenti makan, perbuatan apa saja yang harus dihindari agar tidak membatalkan puasa kita, jam berapa nanti kita akan berbuka puasa. Kemudian dilanjutkan dengan shalat Tarawih berjamaah di masjid, berapa rakaat yang harus kita laksanakan, dst.

Kita tidak pernah memperdulikan bahwa puasa itu hakekatnya bukan hanya mempuasakan lahiriah kita dari makan dan minum semata. Tetapi juga mempuasakan batin kita, yaitu menahan diri dari mengikuti hawa nafsu, yaitu nafsu amarah, nafsu hewani seperti makan, minum atau berhubungan suami istri, atau nafsu untuk bermalas-malasan. Dengan demikian maka apabila seseorang yang telah berpuasa di siang hari dari makan dan minum, kemudian saat waktu berbuka tiba dia melampiaskan nafsu makan dan minumnya dengan menghabiskan hidangan sebanyak-banyaknya, maka pada hakekatnya puasa yang dilakukan di siang harinya itu tidak ada artinya sama sekali. Hawa nafsu apa yang ditahannya?

Rasulullah saw mencontohkan bahwa pada saat berbuka puasa beliau hanya meminum segelas air dan tiga butir buah kurma. Itu saja. Karena hakekat puasa bukanlah untuk tidak makan dan minum di siang hari saja, tetapi untuk menahan hawa nafsu.

Demikian juga dengan ibadah-ibadah lainnya, seperti ibadah haji kita lebih memperhatikan aspek fisiknya semata. Melempar jumroh, tetapi dalam kenyataannya kita tidak pernah memusuhi syaithan. Pernahkah anda mendengar ada ormas atau majelis taklim pengajian yang menyusun program kerja untuk memerangi dan memusuhi syaithan?

Itulah yang disebut sebagai ibadah lahiriah saja. Ibadahnya para pengikut paham materialisme. Tidak memperdulikan bahwa Allah swt menciptakan kita terdiri dari aspek lahiriah dan juga batin. Dan Allah swt mengetahui apa yang sesungguhnya tersembunyi di dalam hati manusia.

رَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَا فِي نُفُوسِكُمْ إِنْ تَكُونُوا صَالِحِينَ فَإِنَّهُ كَانَ لِلأَوَّابِينَ غَفُورًا
“Tuhanmu lebih mengetahui apa yang ada dalam hatimu; jika kamu orang-orang yang baik, maka sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertaubat.” (QS 17:25)

Guru kita mengajarkan kepada murid-muridnya bahwa selain melaksanakan ibadah lahir, kita juga harus memperhatikan ibadah batin, karena boleh jadi ibadah batin itulah yang lebih utama. Pada saat kita mengucapkan dua kalimat Syahadat, apakah batin kita membenarkannya? Pada saat kita mengucapkan shalawat, apakah batin kita tengah mencintai Rasullullah saw?

Dan bahkan dalam suatu hadits Nabi, Rasullullah saw menjelaskan bahwa Allah tidak melihat rupa dan aspek lahiriah manusia, justru Allah swt lebih melihat dari aspek batin manusia itu.

“Diriwayatkan dari Abu Hurairah Abdirrahman bin Syahrin radhiyallahu ‘anhu, ‘Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada tubuh kalian dan tidak pula kepada rupa kalian, tetapi Dia melihat kepada hati kalian.” (HR Muslim)

Jadi jangan sampai kita melupakan batin kita sendiri, batin kita itupun perlu untuk melakukan ibadahnya. Bukan hanya lahiriah kita saja. Sehingga ibadah itu terdiri dari ibadah lahir dan juga ibadah batin. (AK/ST)


Diposkan oleh YAYASAN AKHLAQUL KARIMAH DARUL IMAN INDONESIA di 23.41